Pernikahan Yang Dihentikan Dalam Islam
I. Pendahuluan
Pernikahan itu merupakan suatu komitmen untuk menghalalkan hubungan antara pria dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diridloi oleh Allah SWT. Dari pengertian itu sanggup kta ketahui bawasanya untuk membuat kehidupan keluarga yang yang senang , lalu menghalalkan hubungan antara seorang pria dan perempuan, membangun rumah tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih saying, sebagaimana yang dianjurkan Allah SWT dalam surat Ar-Rum, 21
Dan di antara gejala kekuasaan-Nya ialah Dia membuat untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat gejala bagi kaum yang berfikir.
Didalam agama islam itu sudah jelas, mana saja pernikahan yang dihentikan islam dan mana saja yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud dari pernikahan yang dihentikan yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan ibarat kawin mut'ah kawin hanya untuk bersenang-senang, kawin syhighor, kawin muhallil dan lain-lain, bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang berasal dari zaman jahiliyyah yang mana pada zaman itu orang-orang bagaikan hewan yang mempunyai prinsip bahwa siapa berpengaruh dialah yang berkuasa.
Adapun pernikahan yang diperbolehkan atau dihalalkan yaitu pernikahan yang sesuai dengan ketentuan syariat ibarat ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar dan apabila salah satu diantara syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka pernikahannya tidaklah syah dan batal.
III. Pembahasan
Ada beberapa bentuk pernikahan yang dilarang oleh Islam yakni:
1. Nikah Mut'ah
Yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu, kalau waktu yang ditentukan sudah habis maka siwanita atau istri dinyatakan terlepas dari ikatan pernikahannya dan dia berhak mendapatkan mut'ah dari suaminya.
a. Hadits perihal Nikah Mut’ah
وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رضي الله عنه قَالَ : رَخَّصَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطَاسٍ فِي اَلْمُتْعَةِ , ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ , ثُمَّ نَهَى عَنْهَا (متفق عليه)
Salamah Ibnu Al-Akwa' berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberi kelonggaran untuk nikah mut'ah selama tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekkah), lalu bleiau melarangnya.
وَعَنْ عَلَيٍّ رضي الله عنه قَالَ : نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ اَلْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ )مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang nikah mut'ah pada waktu perang khaibar
وَعَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَعَنْ أَكْلِ الْحُمُرِ اْلأَهْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ ) اخرجه السبعة إلا أبا داود(
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menikahi perempuan dengan mut'ah dan memakan keledai negeri pada waktu perang khaibar. Riwayat Imam Tujuh kecuali Abu Dawud
وَعَنْ رَبِيْعِ ابْنِ سَبُرَةَ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِنِّى كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَالِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُحَلِّ سَبِيْلَهَا وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا أتَيْتُمُوْاهُنَّ شَيْئًا) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَأَبُوْا دَاوُدَ وَالنَّسَائِىُّ وَابْنُ مَاجَهُ وَأَحْمَدُ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Rabi' Ibnu Saburah, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut'ah dan bantu-membantu Allah telah mengharamkan cara itu hingga hari kiamat. maka barangsiapa yang masih mempunyai istri dari hasil nikah mut'ah, hendaknya ia membebaskannya dan jangan mengambil apapun yang telah kau berikan padanya." Riwayat Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Ghorib Hadits perihal Nikah Mut’ah
- رَخَّصَ, dibolehkan setelah sebelumnya pernah dilarang. Biasanya, rukhsah (keringan) diberikan dengan ketentuan syarat tertentu.
- عَامَ أَوْطَاسٍ pada tahun kemenangan.
- اَلْمُتْعَةِ, nikah mut’ah.
- عَنْهَا, yakni nikah mut’ah.
- مِنْهُنَّ, para perempuan yang dinikahi dengan cara nikah mut’ah.
- فَلْيُحَلِ, hendaklah meninggalkannya.
- سَبِيْلَهَا, biarkanlah untuk menetapkan nikah mut’ah.
- أتَيْتُمُوْاهُنَّ, apa-apa yang telah kau berikan, baik berupa harta mahupun yang selainnya sebagai upahnya.
b. Penjelasan
Maksud Hadits
Para ulama tidak mengemukakan satu takrif yang terperinci terhadap amalan pernikahan ini selain sekadar menjelaskan yang pada dasarnya adalah seorang lelaki yang menggunakan perempuan untuk disetubuhi dalam waktu yang telah ditentukan dengan bayaran sesuai dengan kesepakatan bersama antara mereka, sementara perempuan itu tidak berhak mendapatkan nafkah, malah dia juga tidak wajib beriddah kecuali hingga dia suci. Mazhab Imamiyah memberikan masa iddahnya hingga hingga dua kali suci.
Oleh kerana mut’ah merupakan pelecehan terhadap kaum wanita kerana mereka dianggap barang dagangan yang boleh diperjualbelikan, maka Islam mengharamkannya, meskipun sewaktu diharamkan itu masih berwujud dispensasi yang membolehkannya karena ada alasan-alasan yang jelas.
Al-Nawawi berkata: “Pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah terjadi sebanyak dua kali. Pertama, nikah ini dibolehkan sebelum Perang Khaibar, lalu diharamkan pada waktu Perang Khaibar. Kedua, dibolehkan pada tahun penaklukkan kota Makkah, kemudian diharamkan untuk selama-lamanya hingga hari kiamat.”
Aspek aturan dari Hadits
Nikah mut’ah yakni haram, dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama perihal keharaman nikah mut`ah,antara lain:
1) Firman Allah SWT : "Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka bantu-membantu mereka (dalam hal ini) tiada tercela" (QS. Al-mukminun:5-6).
Ayat ini terperinci mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada perempuan yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan perempuan yang diambil dengan jalan mut`ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah,karena komitmen mut`ah bukan komitmen nikah, dengan alasan sebagai berikut :
- Tidak saling mewarisi. Sedang ijab kabul menjadi alasannya yakni memperoleh harta warisan.
- Iddah Mut`ah tidak ibarat iddah nikah biasa.
- Dengan ijab kabul menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut`ah.
- Dengan melaksanakan mut`ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, lantaran perempuan yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri, alasannya yakni mut`ah itu tidak mengakibatkan perempuan berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus jariah. Oleh lantaran itu, orang yang melaksanakan mut`ah termasuk didalam firman Allah:
"Barang siapa mencari selain dari pada itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas"(QS. al-Mukminin :7)
"Barang siapa mencari selain dari pada itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas"(QS. al-Mukminin :7)
2) Sebagaimana juga rasulullah, yang diketahui dari perkataan "Tsumma Nuhii `anhaa" dalam hadist menyebutkan bahwa nikah mut`ah bertentangan dengan tujuan persyari`atan komitmen nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan
3) Nikah mut`ah bertentangan juga dengan peraturan perundang-undangan pemerintah/negara Republik Indonesia perihal perkawinan Islam di Indonesia dan tidak sah untuk dilakukan, lantaran dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan mut’ah, yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 perihal Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Nikah Syighor
Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan dengan cara tukar menukar anak perempuannya untuk dijadikan istrinya masing-masing tanpa mas kawin, ibarat seorang pria berkata kepada pria lain : "Nikahkanlah saya dengan anakmu dan nanti saya nikahkan kau dengan anakku"
a. Hadits perihal Nikah Syighor
وَعَنْ نَافِعٍ , عَنْ اِبْنِ عُمَرَ قَالَ : ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الشِّغَارِ ; وَالشِّغَارُ: أَنْ يُزَوِّجَ اَلرَّجُلُ اِبْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ اَلْآخَرُ اِبْنَتَهُ , وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاتَّفَقَا مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَلَى أَنَّ تَفْسِيرَ اَلشِّغَارِ مِنْ كَلَامِ نَافِعٍ
Nafi' dari Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang perkawinan syighar. Syighar ialah seseorang menikahkan puterinya kepada orang lain dengan syarat orang itu menikahkan puterinya kepadanya, dan keduanya tidak menggunakan maskawin. Muttafaq Alaihi. Bukhari-Muslim dari jalan lain bersepakat bahwa penafsiran "Syighar" di atas yakni dari ucapan Nafi'.
Ghorib Hadits perihal Nikah Sighar
- الشِّغَارِ, telah ditafsirkakn dalam hadits iaitu seorang lelaki menikahkan anak perempuannya dengan syarat orang lain itu juga harus menikahkan anak orang itu untuk dirinya dan tidak ada mahar kepada kedua-dua gadis itu. Takrif ini sesuai dengan pendapat pakar bahasa, kerana asal makna syighar yakni mengangkat.
- مِنْ كَلَامِ نَافِعٍ, pendapat ini dinilai berpengaruh oleh al-Bukhari. Al-Khathib berkata: “Inilah yakni perkataan Imam Malik.”Imam al-Syafi’i berkata: “Saya tidak sanggup mengenal niscaya sama ada tafiran ini tiba daripada Rasulullah (s.a.w), Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar, Nafi’ataupun Malik.”Perkataan diceritakan al-Baihaqi dalam kitab al-Ma’rifah.
b. Penjelasan
Maksud Hadits
Islam telah menetapkan hukum-hakam yang salah satu daripadanya yakni syarat perkahwinan yakni adanya ijab setelah adanya permohonan, disamping kewujudan wali, saksi dan menyebut mahar. Jika ada syarat selain itu, maka syarat itu dianggap batal. Dalam kaitan, Rasulullah (s.a.w) bersabda:
مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ شَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ شَرْطُ اللهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ
Tiada gunanya orang mempersyaratkan syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Siapa saja yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada dalam Kitabullah maka tidak ada hak baginya (atas syarat itu) meskipun ia mensyaratkannya seratus kali. Syarat Allah lebih layak (diikuti) dan lebih berpengaruh (untuk dipegangi) (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Demikian pula dengan nikah syighar yang di dalamnya memuatkan syarat batil, kerana menyimpang dari pemikiran Allah. Selain itu, nikah syighar ini pada hakikathnya yakni menyia-nyiakan hak perempuan yaitu mahar.
Aspek aturan dari Hadits
Meskipun ulama bersepakat mengenai larangan terhadap nikah syighar, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai pernikahan itu sendiri, apakah batal atau tidak.
Menurut Imam al-Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad, pernikahan itu batal. Menurut mazhab Hanafi dan selain mereka, pernikahan itu sah dan masing-masing perempuan wajib diberi mahar mitsil.
Menurut Imam al-Syafi’i, kalau mahar perkahwinan itu disebutkan sewaktu komitmen dilangsungkan, maka pernikahan itu tidak termasuk syighar yang dihentikan dalam agama, kerana nikah syighar yakni nikah yang dilakukan tanpa mahar. Oleh itu, nikah ibarat ini dianggap sah, sementara maharnya tidak ada dan wajib digantikan dengan memperlihatkan mahar mitsil
3. Nikah Tahlil
Yaitu suatu perkawinan antara pria dan perempuan yang telah dithalak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan kembali pernikahan antara perempuan dengan bekas suaminya setelah dia dithalak oleh suaminya yang kedua.
a. Hadits perihal nikah Tahlil
وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالنَّسَائِيُّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ وَفِي اَلْبَابِ : عَنْ عَلِيٍّ أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ
Ibnu Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan tujuan semoga perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya) dan muhallal lah (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas istrinya semoga istri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi)." Riwayat Ahmad, Nasa'i, Dan Tirmidzi. Hadits shahih berdasarkan Tirmidzi
Ghorib Hadits perihal Nikah Tahlil
- لَعَنَ, didoakan semoga dijauhkan daripada rahmat Allah.
- اَلْمُحَلِّلَ, dinamakan demikian, kerana dia menikahi perempuan yang ditalak tiga, lalu dia menceraikannya semoga boleh dikahwini semula oleh suami pertama yang menceraikannya.
- الْمُحَلَّلَ لَهُ, suami yang menjatuhkan talak tiga kepada isterinya
- وَفِي اَلْبَابِ عَنْ عَلِيٍّ, sanadnya daif, kerana ada Mujalid, kerana dia seorang yang dipertentangkan dalam meriwayatkan hadits. Demikian pula hadits Jabir, hadits Abu Hurairah, ‘Uqbah bin ‘Amir dan Ibn ‘Abbas.
b. Penjelasan
Maksud Hadits
Firman Allah :
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿwur ‘@Ïts† öNà6s9 br& (#rä‹è{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«ø‹x© HwÎ) br& !$sù$sƒs† žwr& $yJŠÉ)ムyŠr߉ãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uK‹É)ムyŠr߉ãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uK‹Ïù ôNy‰tGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ߊr߉ãn «!$# Ÿxsù $ydr߉tG÷ès? 4 `tBur £‰yètGtƒ yŠr߉ãn «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ
Talak (yang sanggup dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kau mengambil kembali sesuatu dari yang telah kau berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan sanggup menjalankan hukum-hukum Allah. kalau kau khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak sanggup menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya perihal bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kau melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Hadits ini menjelaskan kalau talak tiga telah dijatuhkan, maka wanita itu tidak halal lagi bagi suaminya hingga perempuan tersebut menikah dengan lelaki lain. Dalam kaitan ini, Allah (s.w.t) berfirman:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù ‘@ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ߉÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry— ¼çnuŽöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù yy$uZã_ !$yJÍköŽn=tæ br& !$yèy_#uŽtItƒ bÎ) !$¨Zsß br& $yJŠÉ)ムyŠr߉ãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ߊr߉ãn «!$# $pkß]ÍhŠu;ム5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇËÌÉÈ
kemudian kalau si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. lalu kalau suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali kalau keduanya beropini akan sanggup menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Surah al-Baqarah: 230)
Suami kedua mestilah benar-benar ingin menikahi perempuan itu tanpa ada unsur paksaan dari suami pertama. Jika mereka bercerai lagi, maka suami pertama boleh menikah dengan mantan isterinya yang pernah ditalak tiga itu.
Namun ada sebagian pihak yang melakukan tahlill (cinta buta), di mana seorang suami menyuruh orang lain untuk menikahi isteri yang telah diceraikannya supaya halal baginya untuk dinikahi lagi, kemudian Rasulullah (s.a.w) melaknat muhallil dan muhallal lahu. Dalam riwayat lain disebutkan bahawa muhallil dianggap sebagai pelacur sewaan. Hadits ini merupakan dalil yang mengharamkan Tahlill.
Aspek aturan dari Hadits
Haram melaksanakan Tahlill. Haram menghalalkan isteri yang telah ditalak tiga oleh suaminya dengan melaksanakan Tahalill, kecuali kalau dia menikahinya tanpa niat untuk menghalalkannaya. Jumhur ulama beropini bahawa nikah seperti ini batil, sementara perempuan tersebut tetap tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama. Menurut mazhab Hanafi, nikah dianggap sah namun syaratnya dianggap batal dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar mitsil. Jika suami kedua menyetubuhinya, kemudian menceraikannya, maka suami pertama boleh menikahinya setelah masa iddahnya berakhir. Dalil mazhab Hanafi adalah perkataan al-muhallil yang membawa maksud pernikahannya itu
adalah sah. Namun jumhur ulama menyanggah pendapat ini dengan menyampaikan bahawa istilah al-muhallil tidak sanggup difahami mengikut makna yang sebenarnya, kerana Rasulullah (s.a.w) melaknat perbuatan mereka dan laknat tidak ditujukan kecuali ke atas perbuatan yang diharamkan. Sementara perbuatan haram dilarang dan perbuatan yang dihentikan akan mengakibatkan fasid. Al-Tirmidhi menukil perkataan Waki yang menyampaikan sepatutnya perbahasan dalam dilema ini dinisbahkan kepada ashhabur ra’yi.
4. Nikah dalam keadaan Ihram
وَعَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَنْكِحُ اَلْمُحْرِمُ, وَلَا يُنْكِحُ, وَلَا يَخْطُبُ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Utsman Ibnu Affan Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan menikah, menikahkan, dan melamar." Riwayat Muslim.
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( تَزَوَّجَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَلِمُسْلِمٍ : عَنْ مَيْمُونَةَ نَفْسِهَا ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ )
Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahi Maimunah ketika ia sedang ihram. Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Muslim dari Maimunah sendiri: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menikahinya ketika ia telah lepas dari ihram.
Penjelasan Hadits
Hadits pertama dan kedua tidaklah bertentangan antara satu sama lain setelah menegaskan bahawa hadits pertama tidak membolehkan seorang yang sedang berihram menikah dan dinikahkan. Namun Ibn ‘Abbas tidak sependapat dengan kaedah ini. Apapun, mendapatkan hadits ini lebih diutamakan kerana periwayatnya lebih mengetahui dengan permasalahan ini.
Ibn ‘Abbas beropini mengenai firman Allah: “dan engku halal terhadap negeri ini.”(Surah al-Balad: 2) bahwa Rasulullah (s.a.w) telah dihalalkan untuk melaksanakan apa saja dan sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak.
Ketika Ibn ‘Abbas mengetahui Rasulullah (s.a.w) menikah dengan Maimunah, ia meyakini bahawa baginda melaksanakan demikian dalam keadaan berihram kerana baginda mempunyai keistimewaan yang dibolehkan baginya melaksanakan segala sesuatu di tanah haram. Adapun, tafsiran Ibn Abbas masih diragukan kesahihannya.
5. Memadu Istri dengan Bibinya
a. Hadits
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا يُجْمَعُ بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا , وَلَا بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya dan antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya." Muttafaq Alaihi.
Gharib
- لَا يُجْمَعُ, mabni li al-majhul dan abjad lam di sini sebagai nafi yang bermakna larangan (nahi).
- وَعَمَّتِهَا, meskipun saudara perempuan ayahnya.
- وَخَالَتِهَا, meskipun saudara perempuan ibunya sebagaimana disebutkan dalam riwayat al-Bukhari: “Maka kami beropini bahawa saudara perempuan ayahnya memiliki kedudukan yang sama dalam dilema kasus ini.”
b. Penjelasan
Allah (s.w.t) menyebutkan perempuan yang diharamkan untuk dinikahi sebagaimana dalam firman-Nya:
* àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3ø‹n=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#u‘ur öNà6Ï9ºsŒ ...
dan (diharamkan juga kau mengawini) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kau miliki[282] (Allah telah menetapkan aturan itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kau selain yang demikian...QS. An-Nisa:24)
Hadith ini sebagai pengecualian, di mana seseorang dihentikan memadukan seorang wanita dengan saudara perempuan ayahnya atau memadukan seorang wanita dengan saudara perempuan ibunya dalam satu waktu.
Alasan larangan ini disebutkan dalam beberapa riwayat bahawa saudara perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan ibu.”Ketika ibu diharamkan untuk dinikahi anaknya, maka demikian pula dengan saudara perempuan, kerana saudara perempuan merupakan salah satu kerabat paling dekat dengannya. Demikian pula aturan dengan saudara perempuan ayahnya.
Tambahan pula bahawa memadukan seorang perempuan dengan saudara perempuannya merupakan suatu perbuatan yang amat membahayakan, malah menyebabkan permusuhan di dalam keluarga sehingga sanggup memutuskan silaturrahim.
Aspek Hukum Hadits
Haram memadu seorang perempuan dengan saudara perempuan ayah mahupun saudara perempuan ibu berdasarkan ijma’ulama.
Dalam perkembangan lain, Abu Dawud menyebutkan lafaz hadith yang
berbeda:
كره أن يجمع بين العمة والخالة وبين العمتين والخالتين
“Dimakruhkan memadu saudari ayah dengan saudari ibu atau memadu kedua
saudari ibu atau ayah.”Sanad hadith ini daif berdasarkan al-Suyuthi sebagaimana dinukil dari al-Kamal al-Dairi.
Hal ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama, sehingga mereka mengartikannya sebagai majaz, kerana apa yang dihentikan yakni memadu dua perempuan yang salah seorang darinya yakni saudari ayah dan seorang lagi saudari ibu atau mereka berdua merupakan saudari ibu atau saudara ayah.
IV. Kesimpulan
Ada beberapa pernikahan yang dihentikan dalam agama Islam, diantaranya :
1. Nikah Mut'ah; ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang pria terhadap perempuan dengan batas waktu tertentu, contohnya untuk satu hari, satu ahad dan seterusnya.
2. Nikah Syighor; yakni seorang pria memperlihatkan saudara wanitanya, anak perempuannya/anak perempuan di bawah perwaliaannya kepada seorang pria dengan imbalan diterimanya anak perempuan/saudara perempuan bawah perwaliaannya, tanpa menggunakan maskawin.
3. Nikah Muhallil/Tahlill; suatu bentuk perkawinan yang semata-mata untuk menghalalkan kembalinya suami kepada mantan istrinya, tanggapan dari hak rujuk setelah talak ketiga.
4. Menikah pada ketika ihram
5. Menikah dengan bibinya
VI. Referensi
- Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibn Hajar, tt. Buluughul Maroom min Adillatil Ahkaam, Pekalongan: Raja Mjurah
- Allusy, Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘, 2004, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulugh Al- Maram, Beirut: Dar al-Fikr.
- Badru Salam, 2006, Terjemah Bulughul Marom, Bogor: Pustaka Ulil Albab
- Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT Karya Thoha Putra, 1995
0 Response to "Pernikahan Yang Dihentikan Dalam Islam"
Post a Comment