Biografi Ny. Mutiara Djokosoetono - Pendiri Taksi Blue Bird
Profil dan Biografi Ny. Mutiara Djokosoetono. Bagi warga Jakarta sudah niscaya mengenal Taksi Blue Bird, ya sebuah armada taksi yang banyak bersleweran di kota jakarta, dan sudah merupakan salah jenis kendaraan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di ibukota Jakarta. Pendiri Taksi Blue Bird adalah seorang wanita pejuang dari Malang berjulukan Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono yang dilahirkan di Malang pada 17 Oktober 1921. Berasal dari keluarga berada, namun pada usia 5 tahun keluarganya bangkrut. Kehidupan berubah drastis. Dari seorang gadis cilik yang dikelilingi akomodasi hidup naik kemudian menjadi miskin. ia kemudian meniti dingklik sekolah dalam kesederhanaan luar biasa. Banyak hal yang mencirikan kesederhanaan hidup Bu Djoko semasa kecil. Makanan yang tak pernah cukup, pakaian seadanya, tak pernah ada uang jajan. Hidup betul-betul bertumpu pada kekuatan untuk tabah.
Menginjak dewasa ketegaran semakin terasah. Ia bertekad memperkaya diri dengan ilmu dan kepintaran. Di ketika yang sulit itu ia berusaha merengkuh senang diantaranya banyak membaca kisah-kisah inspiratif yang diperoleh dengan meminjam. Salah satu cerita legendaris yang selalu menghiburnya yakni "Kisah Burung Biru" atau "The Bird Happiness". Kisah tersebut dilahap berkali-kali dan selalu aben semangatnya, penabur ide dan pemacu cita-citanya.
Bu Djoko dewasa menuntaskan pendidikan HBS di tahun 30-an dan kemudian lulus Sekolah Guru Belanda atau Europese Kweekschool. Dengan tekad yang besar lengan berkuasa ia meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Jakarta. Dan berhasil masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan menumpang di rumah pamannya di Menteng.
Kemudian jalan hidup membawa berkenalan dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya, yang juga pendiri serta Guberbur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Laki-laki itulah yang menikahinya selagi Bu Dkoko masih kuliah. Hingga dikaruniai 3 anak yaitu Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro. Sepanjang dasawarsa 50-an, Bu Djoko bersama keluarga melewatkan kehidupan yang sangat sederhana. Setelah lulus dari FHUI tahun 1952 dan eksklusif bekerja sebagai dosen di FHUI dan PTIK. Mereka kemudian menempati rumah dinas atas pekerjaan suaminya di jalan HOS Cokroaminoto Nomor 107, Menteng.
Mereka dikepung oleh lingkungan yang glamor dan orang-orang dengan kemapanan materi di atas rata-rata. Sementara keluarga Djokosoetono mudah hanya mempunyai uang kebutuhan berjalan. Untuk menambah penghasilan keluarga, Bu Djoko berjualan batik door to door. Tak ada gengsi, tak ada malu, tak ada rasa takut direndahkan oleh sesama isteri pejabat tinggi. Semuanya dilakukan murni sebagai kepedulian isteri untuk membantu suami mencari nafkah.
Namun penjualan batik yang sempat sukses kemudian menurun. Hingga Bu Djoko beralih kemudi berusaha telur di depan rumahnya. Realita berjualan telur menjadi pilihan bisnis yang brilian masa itu. Saat itu telur belum sepopuler sekarang. Masih dianggap materi masakan ekslusif yang hanya dikonsumsi orang-orang menengah ke atas.
Dengan lincah Bu Djoko mencari pemasok telur terbaik di Kebumen. Perlahan-lahan usaha telur Bu Djoko dan keluarga terus meningkat. Kegembiraan akan keberhasilan usaha menjadi berkabut karena kesedihan memikirkan sakit Pak Djoko meski pemerintah memperlihatkan pemberian penuh untuk biaya perawatan Pak Djoko. Meski demikian, penyakit Pak Djoko tak kunjung sembuh, hingga hasilnya pada tanggal 6 September 1965 dia wafat.
Tak berapa usang sesudah kepergian Pak Djoko, PTIK dan PTHM memberi kabar yang cukup menghibur keluarga. Mereka mendapatkan dua buah kendaraan beroda empat bekas, sedan Opel dan Mercedes. Disinilah embrio lahirnya Taksi Blue Bird.
Pada suatu malam, Bu Djoko mulai merancang gagasan bagi operasional taksi yang dimulai dengan dua buah sedan pemberian yang dimiliki. Ia mengkhayalkan taksinya menjadi angkutan yang dicintai penumpangnya. Apa sih bisnis taksi itu ? Tentu ia mendambakan keamanan dan kepastian. Apa jantung dari usaha itu ? Pelayanan, tidak lebih. Lalu bagaimana biar bisnis itu tidak hanya sukses melayani penumpang tapi juga sukses mendulang keuntungan? Buat administrasi yang rapi.
Dalam wacana yang sangat sederhana, Bu Djoko menyusun konsep untuk menjalankan usaha taksinya. Setelah memikirkan kendaraan beroda empat dan cara mengelola, ia memikirkan pengemudi. Bagaimana membuat hukum main kerja sehingga pengemudi mencicipi cinta ketika bertugas? Bu Djoko dengan cepat menjawab pertanyaannya sendiri. Ia memperlakukan mereka menyerupai anak-anaknya sendiri. Pengemudi itu akan dididik dengan baik, dibina, dirangkul untuk sama-sama berkembang. Setelah puas menuangkan wacana hal-hal yang ia kerjakan, Bu Djoko tertidur dengan perasaan bahagia.
Inilah fase yang penting dalam sejarah kelahiran Blue Bird. Yakni ketika Bu Djoko menatap memulai bisnis taksi dalam rancangan idealisme yang ia buat. Walau bermodal dua kendaraan beroda empat saja, tapi visinya sudah jauh ke depan. Dibantu ketiga anak dan menantu maka dimulailah usaha taksi gelap Bu Djoko. Uniknya usaha taksi terebut memakai penentuan tarif sistem meter yang kala itu belum ada di Jakarta. Untuk order taksi, ia memakai nomor telefon rumahnya.
Karena Chandra ditugaskan mendapatkan telepon dari pelanggan maka orang-orang menamakan taksi itu sebagai Taksi Chandra. Taksi Chandra yang hanya dua sedan itu kemudian melesat popular di lingkungan Menteng alasannya yakni pelayanan yang luar biasa. Order muncul tanpa henti. Dari hasil laba ketika itu, BU Djoko bisa membeli kendaraan beroda empat lagi. Kombinasi antara Bu Djoko yang berdisiplin tinggi dan penuh passion dalam menjalankan usahanya berpadu serasi dengan pembawaan Chandra yang cermat dan tenang. Semua problem dalam menjalani usaha taksi dibawa dalam rapat keluarga untuk dicari solusinya.
Permintaan akan Taksi Chandra terus mengalir. Usaha yang semula ditujukan untuk menjaga kestabilan ekonomi keluarga, kemudian bermetamorfosis bisnis yang amat serius. Beberapa kendaraan beroda empat yang telah dimiliki dirasa kurang mencukupi. Titik layanan kian melebar, tak hanya di kawasan Menteng, tebet, Kabayoran Baru dan wilayah-wilayah di Jakarta Pusat, tapi juga hingga ke Jakarta Timur, Barat dan Utara.
Di abad simpulan dlamiah keluarga Bu Djoko tengah mempersiapkan asawarsa 60-an secara alamiah memasuki babak gres yang sangat penting. Sebuah fase dimana kehidupan berbisnis tidak lagi sekedar “aktivitas keluarga” untuk emnambah rezeki. Pada tahun-tahun menjelang 1970 relaita mengambarkan bahwa mereka bisa memebsarkan armada dan mendulang laba yang signifikan. Mereka bisa menambah jumlah kendaraan beroda empat sendiri lebih dari 60 buah.
Memasuki dasawarsa 70-an, sebuah kabar bangga berkumandang. Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ketika itu mengumumkan Jakarta akan memberlakukan izin resmi bagi operasional taksi. Didasari kenyataan bahwa masyarakat Jakarta sangat membutuhkan taksi. Peluang ini direspons dengan insting luar biasa dari Bu Djoko. Maka memasuki tahun 1971, dengan spirit penuh ia segera berangkat ke DLLAJR untuk mendapatkan surat izin operasional.
Namun anti titik puncak dari harapan, Bu Djoko selalu ditolak alasannya yakni alasan bisnis dia masih kecil. Memang ketika itu yang mendaptkan izin yakni perusahaan-perusahaan yang pernah menjalankan bisnis angkutan besar. Namun Bu Djoko sosok yang tak kenal putus asa. Tak terhitung jumlahnya berapa kali dia selalu mengalami penolakan. Hingga terbersit ide brilian untuk mengumpulkan isteri janda jagoan yang telah menitipkan kendaraan beroda empat mereka untuk dikelola sebagai taksi.
Diajaknyaa para janda jagoan untuk bantu-membantu menyerukan petisi kemampuan wanita dalam meimpin usaha. Mereka mendatangi kantor gebernur dan menghadap eksklusif Ali Sadikin. Menghadapi orasi Bu Djoko, Ali Sadikin tersentuh dan menetapkan biar Bu Djoko diberikan izin usaha untuk mengoperasikan taksi. Sungguh sebuah pencapaian menggembirakan dari kesabaran bolak-balik melobi DLLAJR, walau hasilnya harus melalui pertemuan dengan Gubernur.
Bu Djoko tidak berminat bergabung. Ia lebih berpikir untuk mencari jalan bagi kemandirian bisnisnya. Tak ada jalan lain untuk menghubungi Bank. Yang terjadi kemudiana dalah sentuhan invicible hand yang bekerja dalam memudahkan Bu Djoko menerima pinjaman Bank. Mantan murid suaminya dengan cepat membantu memuluskan proses di Bank dan pinjaman pun mengalir.
Bagi Bu Djoko suatu yang sangat luar biasa. Di atas kertas sulit mendapatkan dana yang mencukupi untuk membeli 100 mobil. Tapi ketika itu dia bisa! Di tahun itu pula Bu Djoko dan anak-anaknya bersiap mencari nama dan logo taksi. Taksi Chandra tetap dijalankan sebagai taksi per jam atau hourly. Sementara taksi gres di bawah PT Sewindu Taxi segera disiapkan namanya. Ide lagi-lagi tiba dari Bu Djoko, hingga diberilah nama taksi Blue Bird.
Dengan logo sederhana berupa siluet burung berwarna biru bau tanah yang sedang melesat, hasil karya pematung Hartono. Logo itu menyerupai pencapaian yang mengambarkan bahwa ia bisa menghidupkan impian yang diteladankan cerita The Bird of Happiness.
Pada tanggal 1 Mei 1972, jalan-jalan di Jakarta mulai diwarnai taksi-taksi berwarna biru dengan logo burung yang tengah melesat. Taksi itu mencerminkan semangat jerih dan idealisme yang dikobarkan Bu Djoko. Bersama tim di PT. Sewindu Taxi, Ournomo pun mantap menjalankan kiprah operasional perusahaan. Bisa dikatakan tahun-tahun 70-an merupakan masa penggodokan idealisme Blue Bird. Dalam kesederhanaan Bu Djoko memimpin perjalanan besar membawa Blue Bird siap mengarungi zaman.
Dia menanamkan kepada awak angkutan bagaimana menumbuhkan sense of belonging yang tinggi terhadap Blue Bird dengan menjadi "serdadu-serdadu" tangguh dan penuh pengorbanan. Mereka menikmati masa-masa sangat bersahaja dimana teknologi sama sekali belum menyentuh Blue Bird. Di paruh kedua dasawarsa 70-an, kekuatan armada Blue Bird telah bertambah menjadi sekitar 200 lebih taksi. Pengelolaan yang sangat rapid an administrasi keluarga yangs ehat memungkinkan PT. Sewindu Taxi yang menaungi Blue Bird menambah armadanya.
Mobil-mobil tersebut ditempatkan di dua pool yanga da, di jalan Garuda, Kemayoran dan di jalan Mampang Prapatan. Purnomo dipercaya untuk memimpin Blue Bird sebagai ditektur operasional, sesudah sang kakak Chandra fokus di PTIK.
Setelah melewati tahun-tahun yang berat dalam menegakkan idealism di abad 70-an, dasawarsa selanjutnya mulai disinari optimism yang lebih kuat. Nilai-nilai dan prinsip Blue Bird yang ditancapkan Bu Djoko telah berakar dan menghasilkan batang serta dahan yang sehat. Memasuki dasawarsa 80-an, Purnomo, Mintarsih dan Bu DJoko semakin memperkuat kekompakan. Chandra adakala ikut dalam diskusi selepas kesibukannya di PTIK.
Sisa duduk kasus dari tahun-tahun sebelumnya masih menjadi momok dan beberapa duduk kasus krusial. Tapi Purnomo yang sudah dimatangkanoleh pengalaman abad 70-an sudah jauh lebih percaya diri untuk menghadapi kesulitan di lapangan. Purnomo melewatkan tahun-tahun awal di dasawarsa 80-an dengan kerja uang luar biasa keras. Setelah 8 tahun bisa bertahan, wajah bisnis ini terlihat sangat jelas. Blue Bird bisa mengukur diri apakah bisa melanjutkan perjalanan atau tidak. Bu Djoko dan ketiga anaknya bertekad maju terus.
Pada tahun 1985, 13 tahun sesudah Blue Bird lahir, armada bertambah gemuk, hamper mencapai 2.000 taksi. Keyakinan BU Djoko bahwa masyarakat perlahan tapi niscaya akan mantap menentukan Blue Bird dengan kualitas layanan proma dan sistem agrometer yang terpercaya akan terbentuk. Dan benar! Saat itulah muncul banyak taksi-taksi tanpa meteran. Ketika masyarakat menentukan taksi meteran yang layak, pilihan jatuh pada Blue Bird yang telah mantap menjalankan sistem agrometer selama belasan tahun.
Memasuki paruh kedua dasawarsa 80-an bisa dibilang Blue Bird terus memantapkan diri. Apresiasi masyarakat terbentuk, gambaran Blue Bird sebagai taksi ternyaman, teraman, dengan pengemudi yang santun telah dikenal luas dan menjadi suatu keyakinan yang mengakar. Inilah masa dimana operator Blue Bird sibuk melayani permintaan konsumen yang membeludak. Jumlah taksi terus bertambah mendekati 3.000 unit. Order terus meningkat. Blue Bird tak pelak menjadi pilihan para pemilik gedung-gedung seabagai taksi resmi di tempat mereka. Blue Bird berkibar di banyak titik penting di Jakarta.
Kemajuan demi kemajuan tak terbendung lagi di badan Blue Bird. Manajemen yang rapi, idelisme yang dijaga ketat, pengaturan finansial yang sangat matang dan taktik perluasan yang arif, membuat langkah kemajuan Blue Bird begitu tertata dan sangat cantik. Perpaduan antara kekuatan karisma Bu Djoko, agresivitas dan kreativitas Purnomo, serta ketenangan taktik Chandra membuat Blue Bird di abad 90-an memperlihatkan perkembangan yang sehat.
Faktor yang mempengaruhi kemajuan Blue Bird di abad ini, tak pelak yakni kemajuan persepsi masyarakat. Sungguh sempurna prediksi Bu Djoko wacana perusahaan taksi masa depan. Bahwa kelak di kemudian ahri, masyarakat akan mencari, membutuhkan, dan fanatic pada taksi yang teruji kualitas pelayanannya, aman, prima dan nayaman. Argometer yang dulu ajdi momok dan dianggap sebagai “mimpi di siang bolong” ternyata tak terbukti. Justru argometer yang digunakan Blue Bird menjadi standar paling fair yang dicari penumpang.
Inilah catatan penting dari usaha Bu Djoko dalam membidik sukses masa depan: kesabaran, teguh dalam prinsip, kepemimpinan yang tegas dan bijaksana serta profesionalisme. Setelah perjauangan berat di abad 70-an dan 80-an, maka abad 90-an memperlihatkan Blue Bird Group manis buah yang manis. Perkembangan asset yakni hal yang paling menonjol bila membicarakan kemajuan Blue Bird di abad 90-an.
Jumlah taksi sebelum krismon mencapai hampir 5.000 mobil. Jumlah pool terus bertambah. Blue Bird pun berkembang di sejumlah Provinsi. Generasi 90-an hasilnya ikut mencicipi bagaimana tegak di tengah kepungan terror pihak yang tak suka akan kehadiran Blue Bird. Sebuah penemuan gres juga dilakukan Blue Bird Group melalui peluncuran Silver Bird, executive taxi pada tahun 1993.
Di negara-negara lain tidak ada yang namanya executive taxi. Yang beredar yakni general taxi dengan batas tarif yang telah ditentukan pemerintah. Ide diawali oleh diadakannya KTT Non Blok yang digelar di Indonesia tahun 1992. Saat itu pemerintah menyediakan akomodasi kendaraan beroda empat glamor untuk kebutuhan mobilitas semua akseptor KK, yakni 320 sedan Nissan Cedric.
Pemerintah hasilnya menunjuk Blue Bird menyediakan 320 pengemudi hebat dan berpengalaman. Usai KTT, ratusan sedan glamor tersebut menganggur. Saat itu lahirlah pedoman untuk membuat satu produk gres berupa taksi kelas direktur yang lebih mewah. Akhirnya Blue Bird membeli 240 dari 320 sedan glamor eks KTT dan menjadikannya sebagai Silver Bird.
Tanggal 1 Mei 1997, Blue Bird juga meresmikan kelahiran Pusaka Group yang diniatkan menjadi generasi yang lebih segar dan dinamis dari armada taksi yang sudah ada. Hadirnya Pusaka Group yang menggulirkan taksi Cendrawasih dan Pusaka Nuri pada awalnya merupakan impian Blue Bird untuk melahirkan generasi gres Blue Bird yang lebih modern.
Sebagai perusahaan konservatif, Blue Bird sangat berhati-hati meluncurkan bisnis gres yang belum bisa dijamin nasib masa depannya. Maka mantaplah kemudian dilahirkan Pusaka Group sebagai anak perusahaan yang lebih dinamis, tidak konservatif, bergairah bergerak di kawasan dan dikelola murni oleh keluarga Bu Djoko. Pusaka Group ternyata memperlihatkan keberhasilannya. Selanjutnya didirikan Golden Bird yang beroperasi di Bali. Diikuti daerah-daerah lain menyerupai Surabaya, Bandung, Manado, Medan, Palembang, dan Lombok.
Di dasawarsa 90-an kesehatan Bu Djoko merosot jawaban serangan kanker paru-paru. Sosoknya bersemangat tak merasa tersudutkan oleh penyakitnya. Sambil terus memimpin perusahaannya, Bu Djoko menyediakan banyak waktu, perhatian dan tenaga untuk menyembuhkan penyakitnya. Tapi kanker paru-paru yang ddideritanya terlalu buas untuk tubuhnya yang semakin menua.
Pada tanggal 10 Juni tahun 2000 ia menutup mata di RS Medistra. Sang Burung Biru itu telah pergi. Tapi ia meninggalkan sesuatu yang tak pernah terhapus waktu. Semangat murninya tidak hanya tersimpan di ahti belum dewasa dan cucunya, tapi juga mengalir di segenap batin puluhan ribu karyawannya, mengudara di gedung-gedung dan pool Blue Bird dan melesat bersma taksi-taksi Blue Bird yang melintas di jalan-jalan. Blue Bird di abad Millenium bagaikan burung yang terbang tinggi, melebarkan kepak sayapnya dan merambah cakrawala luas.
Kehadiran para cucu, emningkatnya pengalaman Chandra dan Purnomo dan semangkin tingginya jam terbang karyawan membuat perusahaan ini terbaik di bidangnya. Pada dasawarsa keempat Blue Bird berjuang melintasi abad teknologi canggih dan berusaha luwes.
Perusahaan ini telah berkembang sedemikian rupa menyerupai benih yang menumbuhkan batang besar lengan berkuasa dan menghasilkan rimbun dedaunan dengan dahan yang terus bertambah banyak. Dari awal bergulirnya dengan 25 kekuatan taksi, kini Blue Bird telah mempunyai lebih dari 20.000 unit armada. Kini ada 30.000 karyawan yang berkarya di kantor sentra dan cabang.
Tak kurang 9 juta penumpang dalam sebulan terangkut oleh armada Blue Bird di sejumlah kota di Indonesia. Jumlah pool telah mencapai 28 titik. Armada juga terus diremajakan. Beberapa kali mengganti kendaraan dengan yang baru. Armada Silver Bird yang semula memakai sedan Nissan Cedric kemudian diganti dengan Mercedes di tahun 2006. Sebuah terobosan luar biasa yang mencengangkan. biografiku.com
Menginjak dewasa ketegaran semakin terasah. Ia bertekad memperkaya diri dengan ilmu dan kepintaran. Di ketika yang sulit itu ia berusaha merengkuh senang diantaranya banyak membaca kisah-kisah inspiratif yang diperoleh dengan meminjam. Salah satu cerita legendaris yang selalu menghiburnya yakni "Kisah Burung Biru" atau "The Bird Happiness". Kisah tersebut dilahap berkali-kali dan selalu aben semangatnya, penabur ide dan pemacu cita-citanya.
Bu Djoko dewasa menuntaskan pendidikan HBS di tahun 30-an dan kemudian lulus Sekolah Guru Belanda atau Europese Kweekschool. Dengan tekad yang besar lengan berkuasa ia meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Jakarta. Dan berhasil masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan menumpang di rumah pamannya di Menteng.
Kemudian jalan hidup membawa berkenalan dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya, yang juga pendiri serta Guberbur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Laki-laki itulah yang menikahinya selagi Bu Dkoko masih kuliah. Hingga dikaruniai 3 anak yaitu Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro. Sepanjang dasawarsa 50-an, Bu Djoko bersama keluarga melewatkan kehidupan yang sangat sederhana. Setelah lulus dari FHUI tahun 1952 dan eksklusif bekerja sebagai dosen di FHUI dan PTIK. Mereka kemudian menempati rumah dinas atas pekerjaan suaminya di jalan HOS Cokroaminoto Nomor 107, Menteng.
Mereka dikepung oleh lingkungan yang glamor dan orang-orang dengan kemapanan materi di atas rata-rata. Sementara keluarga Djokosoetono mudah hanya mempunyai uang kebutuhan berjalan. Untuk menambah penghasilan keluarga, Bu Djoko berjualan batik door to door. Tak ada gengsi, tak ada malu, tak ada rasa takut direndahkan oleh sesama isteri pejabat tinggi. Semuanya dilakukan murni sebagai kepedulian isteri untuk membantu suami mencari nafkah.
Namun penjualan batik yang sempat sukses kemudian menurun. Hingga Bu Djoko beralih kemudi berusaha telur di depan rumahnya. Realita berjualan telur menjadi pilihan bisnis yang brilian masa itu. Saat itu telur belum sepopuler sekarang. Masih dianggap materi masakan ekslusif yang hanya dikonsumsi orang-orang menengah ke atas.
Dengan lincah Bu Djoko mencari pemasok telur terbaik di Kebumen. Perlahan-lahan usaha telur Bu Djoko dan keluarga terus meningkat. Kegembiraan akan keberhasilan usaha menjadi berkabut karena kesedihan memikirkan sakit Pak Djoko meski pemerintah memperlihatkan pemberian penuh untuk biaya perawatan Pak Djoko. Meski demikian, penyakit Pak Djoko tak kunjung sembuh, hingga hasilnya pada tanggal 6 September 1965 dia wafat.
Tak berapa usang sesudah kepergian Pak Djoko, PTIK dan PTHM memberi kabar yang cukup menghibur keluarga. Mereka mendapatkan dua buah kendaraan beroda empat bekas, sedan Opel dan Mercedes. Disinilah embrio lahirnya Taksi Blue Bird.
![]() |
Ny. Mutiara Djokosoetono |
Dalam wacana yang sangat sederhana, Bu Djoko menyusun konsep untuk menjalankan usaha taksinya. Setelah memikirkan kendaraan beroda empat dan cara mengelola, ia memikirkan pengemudi. Bagaimana membuat hukum main kerja sehingga pengemudi mencicipi cinta ketika bertugas? Bu Djoko dengan cepat menjawab pertanyaannya sendiri. Ia memperlakukan mereka menyerupai anak-anaknya sendiri. Pengemudi itu akan dididik dengan baik, dibina, dirangkul untuk sama-sama berkembang. Setelah puas menuangkan wacana hal-hal yang ia kerjakan, Bu Djoko tertidur dengan perasaan bahagia.
Inilah fase yang penting dalam sejarah kelahiran Blue Bird. Yakni ketika Bu Djoko menatap memulai bisnis taksi dalam rancangan idealisme yang ia buat. Walau bermodal dua kendaraan beroda empat saja, tapi visinya sudah jauh ke depan. Dibantu ketiga anak dan menantu maka dimulailah usaha taksi gelap Bu Djoko. Uniknya usaha taksi terebut memakai penentuan tarif sistem meter yang kala itu belum ada di Jakarta. Untuk order taksi, ia memakai nomor telefon rumahnya.
Karena Chandra ditugaskan mendapatkan telepon dari pelanggan maka orang-orang menamakan taksi itu sebagai Taksi Chandra. Taksi Chandra yang hanya dua sedan itu kemudian melesat popular di lingkungan Menteng alasannya yakni pelayanan yang luar biasa. Order muncul tanpa henti. Dari hasil laba ketika itu, BU Djoko bisa membeli kendaraan beroda empat lagi. Kombinasi antara Bu Djoko yang berdisiplin tinggi dan penuh passion dalam menjalankan usahanya berpadu serasi dengan pembawaan Chandra yang cermat dan tenang. Semua problem dalam menjalani usaha taksi dibawa dalam rapat keluarga untuk dicari solusinya.
Permintaan akan Taksi Chandra terus mengalir. Usaha yang semula ditujukan untuk menjaga kestabilan ekonomi keluarga, kemudian bermetamorfosis bisnis yang amat serius. Beberapa kendaraan beroda empat yang telah dimiliki dirasa kurang mencukupi. Titik layanan kian melebar, tak hanya di kawasan Menteng, tebet, Kabayoran Baru dan wilayah-wilayah di Jakarta Pusat, tapi juga hingga ke Jakarta Timur, Barat dan Utara.
Di abad simpulan dlamiah keluarga Bu Djoko tengah mempersiapkan asawarsa 60-an secara alamiah memasuki babak gres yang sangat penting. Sebuah fase dimana kehidupan berbisnis tidak lagi sekedar “aktivitas keluarga” untuk emnambah rezeki. Pada tahun-tahun menjelang 1970 relaita mengambarkan bahwa mereka bisa memebsarkan armada dan mendulang laba yang signifikan. Mereka bisa menambah jumlah kendaraan beroda empat sendiri lebih dari 60 buah.
![]() |
Logo Taksi Blue Bird |
Namun anti titik puncak dari harapan, Bu Djoko selalu ditolak alasannya yakni alasan bisnis dia masih kecil. Memang ketika itu yang mendaptkan izin yakni perusahaan-perusahaan yang pernah menjalankan bisnis angkutan besar. Namun Bu Djoko sosok yang tak kenal putus asa. Tak terhitung jumlahnya berapa kali dia selalu mengalami penolakan. Hingga terbersit ide brilian untuk mengumpulkan isteri janda jagoan yang telah menitipkan kendaraan beroda empat mereka untuk dikelola sebagai taksi.
Diajaknyaa para janda jagoan untuk bantu-membantu menyerukan petisi kemampuan wanita dalam meimpin usaha. Mereka mendatangi kantor gebernur dan menghadap eksklusif Ali Sadikin. Menghadapi orasi Bu Djoko, Ali Sadikin tersentuh dan menetapkan biar Bu Djoko diberikan izin usaha untuk mengoperasikan taksi. Sungguh sebuah pencapaian menggembirakan dari kesabaran bolak-balik melobi DLLAJR, walau hasilnya harus melalui pertemuan dengan Gubernur.
Bu Djoko tidak berminat bergabung. Ia lebih berpikir untuk mencari jalan bagi kemandirian bisnisnya. Tak ada jalan lain untuk menghubungi Bank. Yang terjadi kemudiana dalah sentuhan invicible hand yang bekerja dalam memudahkan Bu Djoko menerima pinjaman Bank. Mantan murid suaminya dengan cepat membantu memuluskan proses di Bank dan pinjaman pun mengalir.
Bagi Bu Djoko suatu yang sangat luar biasa. Di atas kertas sulit mendapatkan dana yang mencukupi untuk membeli 100 mobil. Tapi ketika itu dia bisa! Di tahun itu pula Bu Djoko dan anak-anaknya bersiap mencari nama dan logo taksi. Taksi Chandra tetap dijalankan sebagai taksi per jam atau hourly. Sementara taksi gres di bawah PT Sewindu Taxi segera disiapkan namanya. Ide lagi-lagi tiba dari Bu Djoko, hingga diberilah nama taksi Blue Bird.
Dengan logo sederhana berupa siluet burung berwarna biru bau tanah yang sedang melesat, hasil karya pematung Hartono. Logo itu menyerupai pencapaian yang mengambarkan bahwa ia bisa menghidupkan impian yang diteladankan cerita The Bird of Happiness.
Pada tanggal 1 Mei 1972, jalan-jalan di Jakarta mulai diwarnai taksi-taksi berwarna biru dengan logo burung yang tengah melesat. Taksi itu mencerminkan semangat jerih dan idealisme yang dikobarkan Bu Djoko. Bersama tim di PT. Sewindu Taxi, Ournomo pun mantap menjalankan kiprah operasional perusahaan. Bisa dikatakan tahun-tahun 70-an merupakan masa penggodokan idealisme Blue Bird. Dalam kesederhanaan Bu Djoko memimpin perjalanan besar membawa Blue Bird siap mengarungi zaman.
Dia menanamkan kepada awak angkutan bagaimana menumbuhkan sense of belonging yang tinggi terhadap Blue Bird dengan menjadi "serdadu-serdadu" tangguh dan penuh pengorbanan. Mereka menikmati masa-masa sangat bersahaja dimana teknologi sama sekali belum menyentuh Blue Bird. Di paruh kedua dasawarsa 70-an, kekuatan armada Blue Bird telah bertambah menjadi sekitar 200 lebih taksi. Pengelolaan yang sangat rapid an administrasi keluarga yangs ehat memungkinkan PT. Sewindu Taxi yang menaungi Blue Bird menambah armadanya.
Mobil-mobil tersebut ditempatkan di dua pool yanga da, di jalan Garuda, Kemayoran dan di jalan Mampang Prapatan. Purnomo dipercaya untuk memimpin Blue Bird sebagai ditektur operasional, sesudah sang kakak Chandra fokus di PTIK.
Setelah melewati tahun-tahun yang berat dalam menegakkan idealism di abad 70-an, dasawarsa selanjutnya mulai disinari optimism yang lebih kuat. Nilai-nilai dan prinsip Blue Bird yang ditancapkan Bu Djoko telah berakar dan menghasilkan batang serta dahan yang sehat. Memasuki dasawarsa 80-an, Purnomo, Mintarsih dan Bu DJoko semakin memperkuat kekompakan. Chandra adakala ikut dalam diskusi selepas kesibukannya di PTIK.
Sisa duduk kasus dari tahun-tahun sebelumnya masih menjadi momok dan beberapa duduk kasus krusial. Tapi Purnomo yang sudah dimatangkanoleh pengalaman abad 70-an sudah jauh lebih percaya diri untuk menghadapi kesulitan di lapangan. Purnomo melewatkan tahun-tahun awal di dasawarsa 80-an dengan kerja uang luar biasa keras. Setelah 8 tahun bisa bertahan, wajah bisnis ini terlihat sangat jelas. Blue Bird bisa mengukur diri apakah bisa melanjutkan perjalanan atau tidak. Bu Djoko dan ketiga anaknya bertekad maju terus.
![]() |
Ny. Mutiara Djokosoetono |
Memasuki paruh kedua dasawarsa 80-an bisa dibilang Blue Bird terus memantapkan diri. Apresiasi masyarakat terbentuk, gambaran Blue Bird sebagai taksi ternyaman, teraman, dengan pengemudi yang santun telah dikenal luas dan menjadi suatu keyakinan yang mengakar. Inilah masa dimana operator Blue Bird sibuk melayani permintaan konsumen yang membeludak. Jumlah taksi terus bertambah mendekati 3.000 unit. Order terus meningkat. Blue Bird tak pelak menjadi pilihan para pemilik gedung-gedung seabagai taksi resmi di tempat mereka. Blue Bird berkibar di banyak titik penting di Jakarta.
Kemajuan demi kemajuan tak terbendung lagi di badan Blue Bird. Manajemen yang rapi, idelisme yang dijaga ketat, pengaturan finansial yang sangat matang dan taktik perluasan yang arif, membuat langkah kemajuan Blue Bird begitu tertata dan sangat cantik. Perpaduan antara kekuatan karisma Bu Djoko, agresivitas dan kreativitas Purnomo, serta ketenangan taktik Chandra membuat Blue Bird di abad 90-an memperlihatkan perkembangan yang sehat.
Inilah catatan penting dari usaha Bu Djoko dalam membidik sukses masa depan: kesabaran, teguh dalam prinsip, kepemimpinan yang tegas dan bijaksana serta profesionalisme. Setelah perjauangan berat di abad 70-an dan 80-an, maka abad 90-an memperlihatkan Blue Bird Group manis buah yang manis. Perkembangan asset yakni hal yang paling menonjol bila membicarakan kemajuan Blue Bird di abad 90-an.
Jumlah taksi sebelum krismon mencapai hampir 5.000 mobil. Jumlah pool terus bertambah. Blue Bird pun berkembang di sejumlah Provinsi. Generasi 90-an hasilnya ikut mencicipi bagaimana tegak di tengah kepungan terror pihak yang tak suka akan kehadiran Blue Bird. Sebuah penemuan gres juga dilakukan Blue Bird Group melalui peluncuran Silver Bird, executive taxi pada tahun 1993.
![]() |
Taksi Blue Bird |
Pemerintah hasilnya menunjuk Blue Bird menyediakan 320 pengemudi hebat dan berpengalaman. Usai KTT, ratusan sedan glamor tersebut menganggur. Saat itu lahirlah pedoman untuk membuat satu produk gres berupa taksi kelas direktur yang lebih mewah. Akhirnya Blue Bird membeli 240 dari 320 sedan glamor eks KTT dan menjadikannya sebagai Silver Bird.
Tanggal 1 Mei 1997, Blue Bird juga meresmikan kelahiran Pusaka Group yang diniatkan menjadi generasi yang lebih segar dan dinamis dari armada taksi yang sudah ada. Hadirnya Pusaka Group yang menggulirkan taksi Cendrawasih dan Pusaka Nuri pada awalnya merupakan impian Blue Bird untuk melahirkan generasi gres Blue Bird yang lebih modern.
Sebagai perusahaan konservatif, Blue Bird sangat berhati-hati meluncurkan bisnis gres yang belum bisa dijamin nasib masa depannya. Maka mantaplah kemudian dilahirkan Pusaka Group sebagai anak perusahaan yang lebih dinamis, tidak konservatif, bergairah bergerak di kawasan dan dikelola murni oleh keluarga Bu Djoko. Pusaka Group ternyata memperlihatkan keberhasilannya. Selanjutnya didirikan Golden Bird yang beroperasi di Bali. Diikuti daerah-daerah lain menyerupai Surabaya, Bandung, Manado, Medan, Palembang, dan Lombok.
Di dasawarsa 90-an kesehatan Bu Djoko merosot jawaban serangan kanker paru-paru. Sosoknya bersemangat tak merasa tersudutkan oleh penyakitnya. Sambil terus memimpin perusahaannya, Bu Djoko menyediakan banyak waktu, perhatian dan tenaga untuk menyembuhkan penyakitnya. Tapi kanker paru-paru yang ddideritanya terlalu buas untuk tubuhnya yang semakin menua.
Pada tanggal 10 Juni tahun 2000 ia menutup mata di RS Medistra. Sang Burung Biru itu telah pergi. Tapi ia meninggalkan sesuatu yang tak pernah terhapus waktu. Semangat murninya tidak hanya tersimpan di ahti belum dewasa dan cucunya, tapi juga mengalir di segenap batin puluhan ribu karyawannya, mengudara di gedung-gedung dan pool Blue Bird dan melesat bersma taksi-taksi Blue Bird yang melintas di jalan-jalan. Blue Bird di abad Millenium bagaikan burung yang terbang tinggi, melebarkan kepak sayapnya dan merambah cakrawala luas.
Kehadiran para cucu, emningkatnya pengalaman Chandra dan Purnomo dan semangkin tingginya jam terbang karyawan membuat perusahaan ini terbaik di bidangnya. Pada dasawarsa keempat Blue Bird berjuang melintasi abad teknologi canggih dan berusaha luwes.
![]() |
Taksi Blue Bird |
![]() |
Armada Taksi Blue Bird |
Tak kurang 9 juta penumpang dalam sebulan terangkut oleh armada Blue Bird di sejumlah kota di Indonesia. Jumlah pool telah mencapai 28 titik. Armada juga terus diremajakan. Beberapa kali mengganti kendaraan dengan yang baru. Armada Silver Bird yang semula memakai sedan Nissan Cedric kemudian diganti dengan Mercedes di tahun 2006. Sebuah terobosan luar biasa yang mencengangkan. biografiku.com
0 Response to "Biografi Ny. Mutiara Djokosoetono - Pendiri Taksi Blue Bird"
Post a Comment