Hadits Ihwal Thalaq
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai umat Islam yang bertaqwa, kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik pria maupun wanita tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu dari syari’at Islam yakni wacana perkawinan, talak, cerai, dan rujuk. Keempat hal ini sudah di atur dalam aturan Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan kejadian yang sering kita jumpai dalam hidup ini, bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melaksanakan perkawinan.
Selanjutnya wacana duduk kasus talak, hal ini juga tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kita lihat di televisi banyak para artis yang melaporkan isterinya ke KUA karena hal sepele, dan dengan gampangnya mengucapkan kata talak. Padahal dalam al-Qur’an sudah terperinci bahwa perbuatan yang paling di benci Allah yakni talaq. dari sini jikalau kita menengok kejadian-kejadian yang menimpa suami isteri yang bercerai maka patut kita bertanya ada apa di balik semua itu.
Kita ketahui bahwa tindak lanjut dari talak itu sendiri akan berakibat perceraian. Dan hal itu akan menambah penderitaan dari kaum itu sendiri jikalau melaksanakan sebuah perceraian. Tetapi aturan Islam disamping menentukan aturan juga menawarkan alternatif jalan keluar yang bisa di tempuh oleh pasangan suami Isteri jikalau ingin mempertahankan hubungan kesepakatan nikah mereka. Hal itu bisa di tempuh dengan melaksanakan rujuk dan meratapi perbuatan yang telah di lakukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Pertama
Hadits dan Terjemahnya
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَبْغَضُ اَلْحَلَالِ عِنْدَ اَللَّهِ اَلطَّلَاقُ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ , وَابْنُ مَاجَهْ , وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ , وَرَجَّحَ أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ
Artinya : Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai." Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih berdasarkan Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal.
Gharib
- أَبْغَضُ, al-Khatthabi berkata: “Kebencian di sini hendaklah dimaksudkan untuk sesuatu yang menimbulkan terjadinya perceraian menyerupai tidak adanya keharmonisan dan tidak wujud lagi persefahaman.” Ada yang berkata: “Sesuatu yang dibenci menuntut kasus untuk dijauhi sedangkan halal juga menuntut seseorang mempunyai kebebasan memilih melakukannya atau malah menjauhinya. Ini tentunya amat bertentangan.”
- وَرَجَّحَ أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ , Abu Hatim mentarjih hadits ini mursal, kerana diriwayatkan oleh Muhammad bin Khalid al-Wahibi dari Mu’arrif bin Washil dari Muhrib bin Ditsar dari Ibn Umar secara marfu’.
Ia turut diriwayatkan oleh Ahmad bin Yunus, Waki’bin al-Jarrah dan Yahya bin Bukair daripada Mu’arrif dari Muarib secara mursal. Jumlah periwayat di sini lebih ramai dan oleh kerananya, hadits ini mursal. Diantara ulama yang menilainya mursal yakni al-Daruquthni, al-Baihaqi, alKhatthabi dan al-Munziri.
Maksud Hadits
Allah mensyariatkan thalak sebagai jalan keluar bagi kehidupan rumah tangga yang sudah kelam kabut supaya kehidupan si lelaki dan si wanita menjadi harmoni di kemudian hari. Tidak adanya keharmonisan yang mengganggu perahu rumah tangga pasangan suami isteri menimbulkan thalak bisa menghilangkan sifat ego setiap pasangan sehingga mereka sanggup menempuh hidup sesuai dengan cara mereka masing-masing.
Walaupun demikian, Allah (s.w.t) sentiasa menyuruh pasangan suami istri selalu berusaha untuk berdamai sebagaimana dalam firmanNya:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#y‰ƒÌム$[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ
35. dan jikalau kau khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga pria dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jikalau kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, pasti Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. An-Nisa: 35)
Jika tidak mau lagi berdamai, maka mereka hendaklah bercerai, meskipun di dalam perceraian itu terdapat kesedihan dan kepiluan yang sukar untuk dibayangkan. Perceraian turut memberi kesan terhadap kejiwaan, anak dan harta. Itulah sebabnya ini merupakan perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah.
Menyebutkan sesuatu yang paling dibenci di dalam hadits ini seperti menggambarkan bahawa perceraian itu yakni jalan yang paling terakhir, kerana pada hakikatnya dalam syari’at Islam sesuatu yang halal tidaklah dibenci, sebaliknya sesuatu yang dibenci yakni benda haram. Makara sebutan haram kepada perbuatan yang halal merupakan perumpamaan betapa perbuatan thalak ini amat mendekati sesuatu yang diharamkan.
Jika ada yang berkata: “Menyebutkan sifat haram kepada sesuatu yang halal menerangkan bahawa label halal bagi perbuatan itu telah berpindah menjadi sesuatu yang diharamkan. Jawabannya yakni tidak demikian, kerena asas sesuatu itu lebih berpengaruh berbanding sifat, lafaz halal merupakan istilah syari’at, sedangkan kebencian di sini bermaksud aspek kebahasaan saja. Oleh itu, istilah syar’i hendaklah lebih didahulukan ke atas istilah bahasa.
Aspek Hukum
Tidak boleh tergesa-gesa dalam menjatuhkan thalak hingga benar-benar yakin tidak ada lagi jalan keluar yang terbaik selain thalak itu.
Ulama fiqh berkata: “Perceraian sangat dibenci yakni perceraian yang terjadi tanpa alasannya yakni apa-apa, sementara kehidupan rumah tangga tetap serasi dan bahagia.”
B. Hadits Kedua
Hadits dan Terjemahannya
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : ( مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا, ثُمَّ لْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا )
وَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى لِلْبُخَارِيِّ : ( وَحُسِبَتْ عَلَيْهِ تَطْلِيقَةً )
Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan istrinya dikala sedang haid pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Lalu Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan ia bersabda: "Perintahkan semoga ia kembali padanya, kemudian menahannya hingga masa suci, kemudian masa haid dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi istrinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu yakni masa iddahnya yang diperintahkan Allah untuk menceraikan Allah untuk menceraikan istri." Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Muslim: "Perintahkan ia semoga kembali kepadanya, kemudian menceraikannya dikala masa suci atau hamil."
Menurut riwayat Bukhari yang lain: "Dan dianggap sekali thalak."
وَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى : قَالَ عَبْدُ اَللَّهِ بْنُ عُمَرَ : ( فَرَدَّهَا عَلَيَّ , وَلَمْ يَرَهَا شَيْئًا , وَقَالَ : " إِذَا طَهُرَتْ فَلْيُطَلِّقْ أَوْ لِيُمْسِكْ )
Menurut suatu riwayat lain bahwa Abdullah Ibnu Umar berkata: Lalu ia mengembalikan kepadaku dan tidak menganggap apa-apa (thalak tersebut). Beliau bersabda: "Bila ia telah suci, ia boleh menceraikannya atau menahannya.
Gharib
- مُرْهُ, abjad hamzah pada kalimat ini dibuang bagi meringankan sebutan.
- , menyetubuhi.
- يَمَسَّ, dihitung dan dikira.
- وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ, maksudnya dikala seseorang bertanya
- kepadanya.
- قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ, sebelum saya menyetubuhinya.
- وَلَمْ يَرَهَا شَيْئًا, tidak melihat adanya ketentuan aturan ke atasnya.
Maksud Hadits
Ibn Hajar mengemukakan hadits ini untuk menjelaskan maksud thalak sunni dan thalak bid’i. Thalak sunni yakni seorang lelaki menceraikan isterinya pada waktu suci dan tidak disetubuhi selama waktu suci itu, sedangkan thalak bid’i yakni thalak yang dijatuhkan oleh seorang lelaki semasa isterinya dalam keadaan haid. Itulah sebabnya al-Bukhari membahas permasalahan thalak sunni pada permulaan penggalan thalak, kemudian pada penggalan kedua beliau berkata: “ jikalau seorang wanita yang sedang berhaid dijatuhkan thalak ke atasnya, maka dia mesti beriddah.”Ibn Hajar di sini mengemukakan tiga hadits yang kesemuanya menyatakan thalak Ibn Umar pada waktu isterinya sedang haid tetap sah.
Aspek Hukum
1. Seorang lelaki wajib merujuk isterinya yang dithalak dikala sedang haid, pendapat ini berdasarkan Imam Malik, Imam Ahmad dalam satu riwayat, mazhab Hanafi mengikut pendapat yang paling sahih dan Dawud al-Zahiri. Menurut jumhur ulama, rujuk dalam keadaan ini adalah sunat, bukannya wajib.
2. Barang siapa yang menceraikan isterinya semasa haid, maka thalak tidak jatuh melainkan pada waktu suci yang kedua kalinya, bukan suci yang pertama. Antara ulama yang mengharamkan untuk menjatuhkan thalak pada waktu suci yang pertama yakni Imam Malik dan mazhab Syafi’i mengikut pendapat yang paling sahih. Menurut mazhab Hanafi pula menunggu hingga masa suci yang kedua yakni disunatkan. Sebab mereka berbeda pendapat dalam masalah ini yakni teks hadits yang dikemukakan Ibn Hajar di sini.
3. Jika seorang lelaki menjatuhkan thalak sesudah bersetubuh dengan isterinya pada waktu suci, maka inilah yang disebut thalak bid’i yang diharamkan, pendapat ini berdasarkan jumhur ulama. Sebahagian ulama mazhab Maliki beropini bahawa jikalau dia menjatuhkan thalak sesudah bersetubuh dengan isterinya, maka dia wajib dipaksa untuk merujuknya semula, sama halnya apabila dia menjatuhkan thalak dikala isterinya sedang haid. Ulama berbeda pendapat mengenai makna suci di sini sama ada ia bermaksud berhentinya darah haid atau sesudah wanita sudah mandi wajib sesudah haid. Imam Ahmad dalam duduk kasus ini mempunyai dua riwayat pendapat dan pendapat yang berpengaruh yakni suci dikira sesudah wanita itu mandi wajib sesudah haid dan berdasarkan riwayat al-Nasa’i yang secara tegas ada menyebutkan mandi di dalamnya.
4. Menjatuhkan thalak pada waktu isteri hamil yakni thalak sunni dan tetap dianggap sah, pendapat ini berdasarkan jumhur ulama.
5. Thalak yang dijatuhkan dikala isteri sedang haid tetap dihitung dan dikira thalak menyerupai mana yang dinyatakan dalam hadits: “dan dihitung sekali thalak”, pendapat ini berdasarkan jumhur ulama. Dalil mereka yakni sabda Rasulullah (s.a.w): “Perintahkan dia rujuk semula kepadanya (isterinya)”dan perkataan “rujuk”terjadi apabila thalak telah dianggap dijatuhkan.
Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim dan Ibn Hazm beropini thalak tidak dianggap jatuh dan dalil mereka yakni hadits yang lain: “Lalu baginda mengembalikan isteri itu kepadaku dan mengangganya tidak berlaku apa-apa.”Meskipun riwayat hadits ini ada di dalam Sahih Muslim, namun ia masih diperdebatkan dan al-Bukhari telah menilai hadits ini ma’lul (cacat).
Ibn Abdul Barr berkata: “Riwayat Muslim Muslim merupakan perkataan Abu al-Zubair dan ia dihentikan dijadikan hujah terlebihlebih lebih bercanggah dengan hadits yang lebih sahih daripadanya. Jika memang hadits ini sahih, maka maksudnya: “Dan baginda melihat tindakan (Ibn Umar) itu sebagai tidak betul, kerana tidak selari dengan Sunnah.”
Pernyataan serupa turut dikemukakan al-Khatthabi di mana beliau berkata: “Satu-satunya hadits Abu al-Zubair yang paling munkar yakni riwayat hadits ini.”Imam al-Syafi’i sesudah menyebut riwayat Abu al-Zubair ini berkata: “Nafi’lebih diutamakan ke atas Abu al-Zubair, terlebih-lebih lagi dikala terjadi perbezaan riwayat di antara keduanya. Riwayat Nafi’selalunya menepati kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh ulama hadits. PerkataanAbu al-Zubair “dan menganggapnya tidak berlaku apa-apa”maksudnya perbuatan itu dianggap tidak betul, sebaliknya Ibn Umar diperintahkan untuk merubah tindakannya dengan cara segera merujuk semula isterinya.” Inilah tafsiran yang betul.
BAB III
PENUTUP
Demikian yang sanggup kami paparkan mengenai bahan yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau tumpuan yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman menawarkan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini mempunyai kegunaan bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibn Hajar, tt. Buluughul Maroom min Adillatil Ahkaam, Pekalongan: Raja Mjurah
Allusy, Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘, 2004, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulugh Al- Maram, Beirut: Dar al-Fikr.
Badru Salam, 2006, Terjemah Bulughul Marom, Bogor: Pustaka Ulil Albab
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT Karya Thoha Putra, 1995
0 Response to "Hadits Ihwal Thalaq"
Post a Comment